Wednesday, October 5, 2016

makalah : ilmu munasabatil quran

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Al quran memper kenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat, salah satunya adalah bahwa Al quran adalah kitab yang keontikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Sebagaimana firman Allah “sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al hijr:9)
Perbedaan pangkal tolak dalam menelaah Al quran oleh sarjana muslim dan non muslim menghasilkan kehidupan yang berbeda pula. Sarjana muslim dalam melakukan usahanya didasari oleh titik tolak imani didasri dengan nuansa yang tersendiri. Sedangkan para orientalis, tidak mempunyai ikatan batin sama sekali dengan Al quran. Mereka menerapkan kebiasaan ilmiah yang bertolak belakang dari keraguan untuk menemukan sebuah kebenaran ilmiah. Menghindarkan diri dari keterikatannya dengan Al quran, seorang muslim mempelajari Al quran tidak hanya mencari kebenaran ilmiah, tetapi juga mempeljari isi dan kandungan al quran. Begitu juga dengan telaah tentang munasabah yang merupakan bagian telaah dari Al quran. Seluruh usaha membeberkan berbagai bentuk hubungan dan kemirip-miripan dalam Al quran adalah tidak terlepas dari usaha membuktikan bahwa Al quran sebagai suatu yang luar biasa.

B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah pada pembahasan ini meliputi sarana sebagai berikut:
a)      Pengertian ilmu munasabah
b)      Macam-macam munasabah
c)      Urgensi ilmu munasabah

C.     Tujuan pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan ini guna untuk  mengetahui apa sebenarnya isi dari Al quran, dan bagaimana al quran itu, karena yang kita ketahui turunnya al quran beransur-ansur, nah, apakah diantara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya dan surat yang satu dengan surat yang lainyya mempunyai hubungan ?
Pada pembahasan ini, kami mencoba untuk merangkul ddan memahami bersama terkait dengan ilmu munasabatil Quran.
























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian ilmu munasabah
Selanjutnya, Quraish shihab menyatakan bahwa munasabah adalah adanya keserupaan dan kedekatan diantara berbagai ayat, surah dan kalimat yang menyebabkan adanya hubungan. Hubungan tersebut dapat berbentuk keterkaitan, makna dan macam-macam hubungan atau kemestian dalam fikiran (nalar).
Makna tersebut dapat difahami,bahwa apabila suatu ayat atau surat sulit ditangkap maknanya secara utuh, maka menurut metode ilmu munasabah ini, mungkin dapat dicari penjelasanya di ayat atau di surat yang lain yang mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kenapa harus ke ayat atau ke surat yang lain? Karena pemahaman ayat secara perseal (pemahaman ayat tanpa melihat ayat yang lain)sangat mungkin terjadinya kekeliruan. Faslurrahman mengatkan, apabila seseorang ingin apresiasi yang utuh mengenai Alquran, maka ia harus difahami secara terkait, selanjutnya menurut beliau apabila Al quran tidak difahami secara utuh dan terkait, Al quran akan kehilangan relevansinya untuk masa sekarang dan yang akan datang sehingga Al quran tiadak dapat menyajikan dan memenuhi kebutuhan manusia. Jadi tidak heran kalau dalam berbagai karya dalam bidang ulumul Quran tema munasabah hampir tidak terlewatkan.
Secara termenologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan suatu yang lainnya. Selain itu secara termenologis difinisi munasabatil quran dikemukakan oleh beberapa ulama’ :
Ø  Menurut Az-Zarkazy, munasabah adalah suatu hal yang dapat difahami. Tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
Ø  Menurut Manna’ Al-qhatthan, munasabh adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan didalam suatu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat,atau antara surat didalam Al-quran.
Ø  Menurut Ibnu Al-aroby, munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-quran sehingga seolah-olah merupakan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Menurut bahasa, munasabah berarti hubungan atau relevasi, yaitu hubungan persesuaian antara ayat atau surah dengan ayat atau surat yang sebelum atau sesudahnya. Ilmu munasabah berarti ilmu yang menerangkan hubungan ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lainnya. Sedang menurut istilah ialah ilmu yang untuk mengetahui alasan-alasan penertiban dari bagian Al-quran.
Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau surat Al-quran. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘am (umum) dan khusus atau antara abstrak dan konkrit atau antara sebab akibat atau antara rasional dan irasional. Jadi pengertian munasabah itu tidak hanya sesuai dengan arti yang sejajar dan paralel saja. Melaikan yang kontradiksipun termasuk munasabah seperti sehabis menerangkan orang mukmin lalu orang kafir dan sebagainya. Sebab ayat-ayat Al Quran itu kadang-kadang merupakan takhshis (penghususan) dari ayat-ayat yang umum. Dan kadang-kadang sebagai penjelasan yang konkrit terhadap hal-hal yang abstrak.
Sering pula sebagai keterangan sebab dari sebuah akibat seperti kebahagiaan setelah amal shaleh dan sebagainya. Jika ayat-ayat itu hanya dilihat sepintas, memang seperti tidak ada hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, baik dengan yang sebelumnya maupun dengan ayat yang sesudahnya. Karena itu, tanpaknya ayat-ayat itu seolah-olah terputus dan terpisah dari yang satu dengan yang lainnya seperti tidak ada kontaknya sama sekali. Tetapi kalau diamati secara teliti, akan tanpak adanya munasabah atau kaitan yang erat antara yang satu dengan yang lain.
Karena itu, ilmu munasabah merupakan ilmu yang penting, karena ilmu itu bisa mengungkapkan rahasia kebalaghehan Al quran dalam menunjukan sinar petunnjuknya.

B.     Pendapat-pendapat ulama’ disekitar munasabah
a.       Tertib surat dan ayat
Para ulama’ sepakat bahwa tertib ayat-ayat didalam Al quran adalah taukifi, artinya penetapan dari rasul sementara tertib surat dalam al quran masih terjadi perbedaan pendapat.
Al-qurtubhi meriwayatkan pernyataan ibnu ath-thib bahwa tertib surat Al-quran di perselisihkan. Dalam hal ini ada tiga golongan :
Ø  Tertib surat berdasarkan ijtihad para sahabat, pedapat ini diikuti oleh beberapa jumhur ulama’ seperti imam malik, al-qhady abu bakar ath-thib. Adapun beberapa alasan mereka adalah :
1)      Tidak ada petunjuk langsung dari rasulullah tentang tertib surat dalam Al-quran.
2)      Sahabat pernah mendengar rasul membaca Al quran berbeda susunan surat dengan yang sekarang, hal  ini dibuktikan dengan munculnya empat surat dri kalangan sahabat yang berbeda susunannya, antara yang satu dengan yang lainnya. Yaitu mushaf Ali, mushaf ‘ubay, mushaf ibnu, mushaf ibnu abbas.
3)      Mushaf yang ada pada catatan para sahabat berbeda-beda, ini membuktikan bahwa susunan surat tidak ada petunjuk resmi dari rasul.
Ø  Susunan surat berdasarkan petunjuk Rasulullah (taukif). Diantara ulama’ yang berpendapat demikian ialah Al-qodi abu bakar Al-anbary, ibnu hajar, Az-zarkazy, dan Asy-syuyuthi dengan alasan yang mereka kemukakan sebagai berikut.
1)      Ijma’ sahabat terhadap mushaf usman. Iljma’ ini tak akan mungkinkecuali kalau tertib itu Tauqify, seandainya bersifat ijtihady, niscaya mushaf lainnya akan berpegang teguh pada mushafnya.
2)      Hadist tentang hijzb Quran yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Daud dari huzaifah as-staqofy dengan meneliti pembagian yang ditemukan hadist tersebut didapatkan pembagian Al quran dalam pembagian yang seimbang.
3)      Hadist Ibnu Abbas tentang penyatuan surah Al-taubah, menyatakan bahwa kebijakan tersebut menunjukkan bahwa susunan Al quran taukifi, hanya karena nabi hubungan tidak menjelaskan kepada usman surat at-taubah disatukan dengan surat al-anfal.
4)      Nabi sering membaca surat dengan tertib seperti al quran saat ini.

C.     Macam-macam munasabah
Pada garis besarnya munasabah itu menyangkut dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan ayat dan surat dengan surat. Sebagaimana rincian berikut :
a.       Hubungan ayat dengan ayat meliputi
Ø  Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat.
Ø  Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat.
Ø  Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.
b.      Hubungan surat dengan surat meliputi;
Ø  Hubungan awal uraian awal surat dengan akhir uraian surat.
Ø  Hubungan nama surat dengan tujuan tujuannya.
Ø  Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
Ø  Hubungan penutup surat sebelumnya dengan awal surat sesudahnya.

D.    Urgensi dan kegunaan mempelajari imu munasabah
Sebagaimana asbab an-nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami Al quran. Muhammad abdullah darras berkata “sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnyasaling berkaitan. Maka bagi orang-orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya.
Disamping itu, para ulama’ bersepakat bahwa Al quran ini, yang diturunkan dalam tenpo dua puluh tahun lebih dan mengandung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbabunnuzulnya, karena bertautan satu ayat dengan ayat ainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, az-zarkazy mengatakan bahwa jika tidak ada asbabun nunzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah.
Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari ilmu munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al quran kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
2.      Mengetahui atau persambungan / hubungan antara bagian Al quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al quran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.      Dapat diketahui motto dan kebelakhaan bahasa Al quran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al quran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.





























BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
1.    Secara etemologi : Al munasabah ialah Al musyakanah dan Al mukorrobah sedang menurut termenolugi Al munasabah ialah suatu hal yang dapat difahami. Tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
2.    Macam-macam munasabah secara garis besar ada dua hal yaitu, ayat dengan ayat dan surat dengan surat.
3.    Dalam pempelajari ilmu munasabah terdapat urgensi-urgensi yang diantaranya adalah dapat mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema al quran kehilangan relevansi antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.

B.   SARAN
Pada makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik dari segi susunan kata, penulisan dan lain sebagainya. Maka kami sebagai pemakalah mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan kami, karna kami hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.Dan kami juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan semoga dengan kritik dan saran yang di berikan bisa kami jadikan pelajaran untuk  memperbaiki makalah kami kedepannya.








DAFTAR PUSTAKA
                    
                        Prof. Dr. Rosihun Anwar, M. Ag ulumul quran. Cv.pustaka setia. Bandung. 2013

http/abgggroup corporat.com

makalah : hadist dlaif dan klasifikasinya

BABI
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

Sebagai sebuah agama yang Rahmatan li al-‘alamiin, Islam mengajak kepada seluruh umat manusia, baik yang beriman ataupun yang belum beriman kepada kebaikan. Karena dengan berbuat kebaikan maka kebahagiaan di dunia dan akhirat akan diperoleh. Untuk mendukung itu semua, Allah telah mengirimkan untuk setiap kaum seorang utusan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mu’minuunayat 44: “kemudian kami utus (kepada umat umat itu) rasul rasul kami berturut turut. Tiap tiap rasul dating kepda umatnya, umat itu mendustakannya, maka kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan kami jadikan mereka buah tutur. Maka kebianasaanlah bagi orang orang yang tidak beriman”.
Dimana tugas utama para rasul tersebut adalah mengajak umatnya untuk berbuat kepada Allah, dalam artian selalu bertaqwa kepada-Nya. Dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dan tiap-tiap rasul tersebut juga dibekali dengan kitab maupun shuhuf sebagai pedoman mereka dalam berda’wah, juga sebagai rujukan dalam memecahkan setiap masalah yang muncul ditengah umatnya.
Demikian pula dengan kita yang merupakan umat dari Nabi Muhammad SAW, yang merupakan nabi penutup zaman. Dalam mengarungi hidup ini, Rasul telah mewariskan al-Qur’an dan al-hadits atau as-sunnah. Sehingga diharapkan dengan dua warisan dari Rasul ini hidup manusia bisa lebih terarah dan terkontrol. Karena dengan al-Qur’an yang merupakan kalamullah manusia bisa mengetahui rambu-rambu yang telah dibuat oleh Allah, dilengkapi pula dengan al-hadits yang berfungsi sebagai bayyanu taudhih,tafsir (sebagai penjelas) dan sebagai bayyanu tsabit (menambah) yang tidak ada dalam al-qur’an.
Kenapa hadits dijadikan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an? Karena bila dilihat dari pengertiannya saja, hadits secara literal berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam perkataan yang dimaksud adalah perkataan dari Nabi Muhammad SAW. Namun seringkali kata ini mengalami perluasaan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, sehingga berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama. Sehingga Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah al-Qur’an.
Tetapi setelah diadakan kajian yang begitu mendalam mengenai hadits-hadits yang jumlahnya ribuan, didapatkan sebuah kesimpulan bahwa tidak semua hadits-hadits tersebut bisa dijadikan pedoman atau dijadikan sebagai hujjah. Ada tingkatan-tingkatan dalam pembagian hadits tersebut. Tingkatan-tingkatan tersebut sangat berpengaruh dalam peluang penggunaan hadits tersebut sebagai hujjah.
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yaitu sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. 
Sehingga sebuah hadits bisa dijadikan sebagai pedoman bila keutuhan rantai sanadnya terjaga. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya. Sebagai sebuah illustrasi sanad : pencatat hadits > penutur 4 > penutur 3 > penutur 2 (tabi’in) >  penutur 1 (sahabat) > Rasulullah SAW. 
Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin lama zaman itu semakin jauh dengan zaman Rasulullah, maka banyak sekali hadits yang keshahihannya masih diragukan. Dengan kata lain sekarang banyak sekali bermunculan hadits-hadits yang diklaim oleh si penyampai hadits sebagai hadits yang shahih, sehingga masyarakar awam mengikutinya begitu saja. Akan tetapi setelah diselidiki lebih jauh ternyata hadits itu mardud. Dikarenakan ada persoalan dari sisi sanadnya.
Berdasarkan tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4, yakni shahih, hasan, da’if dan maudhu’. 
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis mencoba akan memfokuskan pada pembahasan satu hadist saja, yaitu tentang dan bagaimana hadist dlaif itu ?

B.       JUDUL MAKALAH
Adapun judul makalah yang akan penulis paparkan yaitu “hadist dlai’f dan klasifikasinya”.

C.  RUMUSAN MASALAH
1.      Apapengertianhaditsdloif?
2.      Bagaimanapembagianhaditsdloif?
3.      Bagimanastatuskehujjahan hadits dloif ?

D.      TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan dari makalah ini guna untuk mengetahui apa yang disebut hadist dlaif, bagaimana kedudukan hadist dlaif dan pembagian hadist dlaif sehingga kita tidak serta merta untuk menyamaratakan hadist, dan dijadikan ke semua sumber permasalahan yang ada.






BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Dha’if

Definisi :

مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَاتُ الْقُبُوْلِ بِفَقَدْ شَرْطٍِ مِنْ شُرُوْطِه             "
Apabila tidak terkumpul sifat-sifat (yang menjadikannya dapat) diterima (shahih), karena hilangnya salah satu dari syarat-syarat (hadits shahih)”.

Penjelasan Definisi :

Tidak terkumpul sifat-sifat yang menjadikannya dapat diterima; syarat diterima suatu hadis, sebaimana yang telah dibahas, antara lain;
1. Memiliki sanad hingga kepada Nabi saw
2. Sanadnya bersambung
3. Rawinya ‘adil dan dlabith
4. Tidak mengandung syadz
5. Tidak ada illah

Hilangnya salah satu syarat diterimanya hadis;
 
Apabila hilang syarat yang pertama, maka hadis itu tidak bisa dinisbahkan kepada nabi saw, melainkan disandarkan kepada shahabat, tabi’in atau tabi’ tabi’in, sesuai dengan nama yang tercantum di dalam sanad tersebut.
Apabila tidak terpenuhi syarat kedua, maka hadis itu dinamakan mursal.Apabila tidak terpenuhi bagian pertama dari syarat yang ketiga, yaitu sifat ‘adil, maka hadis itu termasuk matruk atau maudlu’, dan jika tidak ada syarat ketiga bagian yang kedua yaitu dlabth maka hadis tersebut disebut dla’if, matruk, atau bahkan maudlu’ yang disebabkan oleh kelemahan rawi.Apabila hilang syarat yang keempat, maka hadis itu dinamakan syadz atau matruk.Dan apabila tidak memenuhi syarat yang kelima, maka hadis itu dinamakan mu’allal.
Menurut bahasa dha’if berarti ‘Aziz: yang lemah sebagai lawan dari Qawiyyu yang artinya kuat.Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya:Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Sedangkan Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya:yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”.
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :
 
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
Artinya:hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
Diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya hadits dloif, yaitu:
a)      Adanya Kekurangan pada Perawinya
Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:
•Dusta (hadits maudlu)
•Tertuduh dusta (hadits matruk)
•Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
•Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
•Menyalahi riwayat orang kepercayaan
•Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
•Penganut Bid’ah (hadits mardud)
•Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith
b)      Karena Sanadnya Tidak Bersambung 
•Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
•Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
•Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
•Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
c)      Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’

B. Pembagian Hadits Dhai’f
Hadits dhaif sangat bervariasi, dan pembagiannya tidak sesederhana pembagian hadits shahih maupun hasan. Oleh karena itu ada ulama ahli hadits yang membagi hadits dhoif menjadi 42 macam, 63, 81 bahkan ada yang sampai 129 macam.
Sebab kedhaifan suatu hadist dapat disebabkan oleh sanad, yaitu terputusnya sanad. Terputusnya sanad dapat terjadi baik pada tingkat Sahabat, Tabi’in, maupun tingkat sesudahnya. Begitu pula baik terputus hanya satu tingkat ataupun lebih.
1)      Hadits Dha’if karna Gugurnya Rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau beberapa perawi, yang seharusnya ada dalam satu sanad, baik pada permulaan, pertengahan atau akhir sanadnya.
a. Hadits Mursal
Kata Mursal secara etimologi diambil dari kata “irsal” yang berarti “Melepaskan”, adapun pengertian hadits mursal secara terminology ialah hadits yang dimarfu’kan oleh tabi’in kepada Nabi SAW. Artinya, seorang tabi’in secara langsung mengatakan, “bahwasanya Rasulullah Saw bersabda…..”
Para ulama’ memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Sebagai contoh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman dari Harmalah dan dari Said bin Mutsayyab. Bahwasnya Rasulullah Saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله وسلم : بيننا وبين المنافقين شهود لعشاء والصبح لا يستطيعون (رواه ماللك)
Artinya :
Rasulullah bersabda: antara kita dengan kaum munafik (ada batas) yaitu menghadiri jamaah Isya’ dan subuh, mereka tidak masuk menghadirinya”. (HR. Imam Malik).
Hadits ini mursal karena, siapa yang sahabat nabi yang yang meriwayatkan hadits ini kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad di atas.
 
b. Hadits Munqati’
Menurut bahasa, hadits munqati’ berarti hadits yang terputus. Para ulama’ memberikan batasan hadits munqati’ ialah hadist yang gugur satu atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir sanadnya adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanadnya adalah tabi’in. artinya hadits munqati’ itu bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur tapi minimal gugur seorang tabi’in.
Contoh hadits munqati’:
 
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم : إ ذا دخل المسحد قال : بسم الله والسلام على رسول الله اللهم غفرلى ذنوبى وافتح لى ابواب رحمتك. (رواه ابن ماجه)
Artinya :“Rasulullah SAW, bila masuk ke dalam masjid membaca: dengan nama Allah dan sejahteralah atas Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku dan bukanlah bagiku segala pintu rahmat-MU”
(HR. Ibnu Majah)
 

c. Hadits Mudal
Hadits mudal menurut bahasa, berarti hadits yang sulit dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya, contohnya: telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
 للملوك طعامه وكسوته بالمعروف (رواه مالك)
Artinya:“Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik”.
 (HR. Malik)

d. Hadits Muallaq
Hadits muallaq menurut bahasa berarti hadits yang tergantung. Dari segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad. Contoh: Bukhari berkata, kata Malik, dari Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: 
لاتقاضلوابين الأنبياء (رواه البخارى)
 
Artinya:“Janganlah kamu melebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari)
2)      Hadits Dha’if karena Cacat pada Rawi atau Matan
Hadits yang cacat pada rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadits dhoif. Ada berbagai macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau matannya, diantaranya pendusta, pernah berdusta, fasiq, tidak dikenal dan berbuat bid’ah merupakan cacat-cacat yang dapat menghilangkan sifat dabit para rawi.
Adapun cacat matan, misalnya terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau lafal hadits itu diputarbalikan sehingga memberikan pengertian yang berbeda dengan maksud hadits yang sebenarnya. 

a. Hadits Maudu’
Hadits maudu’ ialah hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw tapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa sengaja, contoh:
لايدخل ولد الزنا الجنة الي سبع ابتاء
Artinya:“Anak zina  tidak masuk surga hingga tujuh turunan”.
Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah, surat al-An’am ayat : 164 :“Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
Banyak cara untuk bisa mengetahui hadits palsu atau tidak adalah dengan melihat makna hadits tersebut rusak ataukah batil yaitu dengan memastikan bahwa makna hadits tersebut masuk akal ataukah tidak, bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan kebenaran yang sudah dapat dipastikan secara ilmiah/historis, bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat atau bertentangan dengan ayat al-Qur’an. 

b. Hadits Matruk atau Hadits Matruh
Hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, yang menurut penilaan seluruh ahli hadits terdapat catatang pribadinya sebagai seorang rawi yang dha’if, contoh: hadits riwayat Amr bin Syamr, dari Jabir Al-Ju’fi, dari Haris, dari Ali. Dalam hal ini Amr termasuk orang yang haditsnya ditinggalkan. Atau dengan kata lain hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau ragu dalam periwayatan.

c. Hadis Munkar
Hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dha’if yang berbeda dengan riwayat rawi yang tsigah (terpercaya). Contoh:
من اقام الصلاة واتي الزكاة وحج وصام وقري الضيق ودخل الجنة
 
(رواه بن ابى حاتم)
Artinya:“barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa, dan menjamu tamu, maka dia masuk surga”.

d. Hadits Muallal
Adalah hadist yang kelihatannya terbebas dari cacat, akan tetapi sebenarnya memiliki cacat yang tersembunyi baik pada sanad maupun matannya atau juga pada keduanya.  Untuk menemukan illat (cacat) hadist ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab ‘ilat itu sendiri tidak tampak, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadist.
Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم : البيعان بالخيار مالم يتفرقا
Artinya:“Rasulullah bersabda: penjual dan pembeli boleh berikhtiar, selama mereka masih belum berpisah”

e. Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian hadits itu. Contoh:
قال رسولوالله صلي الله عليه وسلم: انا زعيم، والزعيم الحميل لمن أمن بي واسلم وجاهدفي سبيل الله يبيت في ريض الجنة  (رواه النسائ)
Artinya:“Rasulullah Saw bersabda: saya itu adalah Zaim dan Zaim itu adalah penanggungjawab dari orang yang beriman kepadaku, taat dan berjuang di jalan Allah, dia bertempat tinggal di dalam surga.” (HR. Nasai)

f. Hadits Maqlub
Hadist yang terjadi pembalikan baik pada sanad, nama periwayat maupun matannya. Maksudnya perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan serta meletakkan sesuatu di tempat yang lain. Contoh maqlub pada matan adalah hadist yang diriwayatkan oleh Thabrani: 
 قال رسول الله ص.م. اذا امرتكم بشئ فأتوهواذا نهيتكم عن شئ فاجتنيبوه ما استطعتم. (رواه الطبرانى)
Artinya: “Rasululah bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu maka kerjakanlah dia, apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah dia sesuai dengan kesangupanmu”. (HR. Thabrani)
 
Sedangkan dalam hadits Buhkari dan Muslim, matan hadist di atas disampaikan dengan redaksi yang berbeda, yaitu :
عن ابى هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ص.م. يقول: ما بهيتكم عنه فاجتنبوه وما امرتكم به فافعلوه ما استطعتم. (رواه البجارى ومسلم)
Artinya: “dari Abu Hurairah r.a. ia berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : apa-apa yang kami cegah dari kamu semua maka jauhilah dan apa-apa yang kami perintahkan kepadamu sekalian perbuatlah menurut kemampuanmu”. (HR. Bukhori-Muslim)   
 

g. Hadits Syaz
Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terpercaya, yang berbeda dalam matan atau sanadnya dengan riwayat rawi yang relatif lebih terpercaya, serta tidak mungkin dikompromikan antara keduanya. Contoh: hadits syaz dalam matan adalah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata, Rasulullah bersabda:
ايام التشريق ايام اكل وشرب (رواه موسى بن على
Artinya:“hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”.

C. Status Kehujahan
Cacat yang terdapat pada hadits dhoif berbeda-beda. Hal ini berimbas pada tingkatan (martabat) hadits-hadits dhoif juga mengalami perbedaan. Dari hadits yang mengandung cacat pada rawi (sanad) atau matannya, yang paling rendah martabatnya adalah hadits maudhu’, kemudian hadits matruk, hadits munkar, hadits muallal, hadits mudraj dan hadits maqlub. Sedangkan untuk hadits yang gugur rawi atau sejumlah rawinya yang paling lemah adalah hadits muallaq, hadits mudal, hadits munqoti’ dan hadits mursal.
Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam hal kebolehannya (kehujjahan) hadits dhoif untuk diamalkan terdapat beberapa pendapat: 
Pendapat pertama, hadits dhoif tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal dan haram, maupun yang berkaitan dengan kewajiban dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa imam, seperti imam Ahmad bin Hambal, Abu Dawud dan sebagainya.
Pendapat ini tentunya berkenaan dengan hadits yang tidak terlalu dhoif, karena hadits yang dhoif itu ditinggalkan para ulama’. Disamping itu pula hadits dhoif itu tidak boleh bertentangan dengan hadits yang lain.
Pendapat kedua dipandang baik mengamalkan hadits dhoif dalam fadaitul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun dilarang.
Segolongan ulama’ yang dipimpin oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi menyatakan : sudah menjadi kesepakatan ulama akan diperbolehkannya menggnakan hadits dhoif sebagai dalil untuk fadaitul amal. Ibnu Daqiq al’Id memberikan syarat dibolehkannya penggunaan hadits dhoif dalam fadaitul amal :
·         Hadits dhoif itu harus benar-benar ada berdasarkan sumber yang asli. Artinya bukan rekayasa seseorang.
·         Tidak menganggapnya sebagai hadits shahih ketika mengamalkannya, tetapi menganggapnya sebagai langkah antisipatif saja.
·         Telah disepakati  untuk diamalkan, yaitu hadits dhoif yang tidak terlalu dhoif.
·         Hadits dhoif yang bersangkutan berada di bawah suatu dalil yang umum, sehingga tidak bisa diamalkan hadits dhoif yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.

BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan masalah yang terurai pada bagian terdahulu, maka dapat disimpulkan:
1.      Menurut bahasa dha’if berarti aziz yang artinya yang lemah, dan menurut istilah adalah yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan.
2.      Pembagian hadits dha’if ada dua bagian yaitu: hadits dha’if karena gugurnya rawi dan cacat pada rawi dan matan.
3.      Kehujjahan penggunaan hadits dhoif ada tiga :
Ø  Boleh secara mutlak, baik itu berkaitan dengan halal dan haram dan kewajiban asalkan hadits tersebut tidak terlalu dhoif.
Ø  Boleh hanya dalam hal yang berkaitan dengan fadaitul amal, itupun disertai dengan beberapa syarat.
Ø  Tidak boleh diamalkan dengan karena hadits yang dhoif lebih mendekati dengan palsu padahal masih banyak hadits shohih yang masih bisa digunakan. 

B.     SARAN
Pada makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik dari segi susunan kata, penulisan dan lain sebagainya. Maka kami sebagai penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan kami, karna kami hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Dan kami juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan semoga dengan kritik dan saran yang di berikan bisa kami jadikan pelajaran untuk  memperbaiki makalah kami kedepannya.



DAFTARPUSTAKA


Alwi, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 
As-Shalih, Subhi. 1997. Membahas Ilmu-ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ash-shiddieqy, Hasbi. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.