BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada pembahasan kali ini, yang berjudul Syar’uman Qoblana dibahas
karena ini adalah sebuah cabang ilmu ushul yang penting untuk di perdalam. Agar
pemahaman dalam tema ini tidak melenceng dari konteks yang ada dan jauh dari
kesalah pahaman dalam memahaminya. Maka dari itu perlu kiranya bagi kami untuk
membahas lebih alam tentang syar’u Man Qoblana.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Syar’u Man Qoblana?
2.
Bagaimana
eksistensi Syar’u Man Qoblana?
3.
Bagaimana
pendapat para ulama’ tentang Syar’u Man Qoblana?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan
definisi Syar’u Man Qoblana.
2.
Menjelaskan
pendapat para ulama’ tentang Syar’u Man Qoblana.
3.
Menjelaskan
bagaimana eksistensi Syar’u Man Qoblana.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Syar’u Man Qoblana
Yang dimaksud Syar’uman qoblana ialah syariat yang dibawa para
Rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul. Seperti yang kita ketahui Allah menurunkan ajaran tauhid yang
sama antara Rasul satu dengan yang lain. Namun, dalam hal syariat Allah
menurunkan syariat yang berbeda-beda pada setiap ummat.[1]
Syar’uman Qoblana adalah hukum-hukum syari’at yang di tetapkan oleh
Allah buat umat-umat terdahulu, dan dibawa oleh nabi-nabi mereka, dimana umat
yang hidup sebelum disyari’atkan Islam diwajibkan untuk melaksanakan
hukum-hukum itu. Seperti Syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa
alaihissalam. Dan ta’rif ini, maka akidah-akidah dasar yang sama antara akidah
mereka dengan akidah Islam tidak termasuk dalam istilah ini, hari akhir, takdir
baik dan buruk serta yang lain sebagainya, sebagaimana apa yang berlaku bagi
mereka karena ada perintah untuk diberlakukan. [2]
Seperti dalam surat
al-Maidah ayat: 48
!$uZø9tRr&ur
y7øs9Î)
|=»tGÅ3ø9$#
Èd,ysø9$$Î/
$]%Ïd|ÁãB
$yJÏj9
ú÷üt/
Ïm÷yt
z`ÏB
É=»tGÅ6ø9$#
$·YÏJøygãBur
Ïmøn=tã
( Nà6÷n$$sù
OßgoY÷t/
!$yJÎ/
tAtRr&
ª!$#
( wur
ôìÎ6®Ks?
öNèduä!#uq÷dr&
$£Jtã
x8uä!%y`
z`ÏB
Èd,ysø9$#
4 9e@ä3Ï9
$oYù=yèy_
öNä3ZÏB
Zptã÷Ű
%[`$yg÷YÏBur
4 öqs9ur
uä!$x©
ª!$#
öNà6n=yèyfs9
Zp¨Bé&
ZoyÏnºur
`Å3»s9ur
öNä.uqè=ö7uÏj9
Îû
!$tB
öNä38s?#uä
( (#qà)Î7tFó$$sù
ÏNºuöyø9$#
4 n<Î)
«!$#
öNà6ãèÅ_ötB
$YèÏJy_
Nä3ã¥Îm6t^ãsù
$yJÎ/
óOçGYä.
ÏmÏù
tbqàÿÎ=tFørB
ÇÍÑÈ
Artinya: Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap
umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.[3]
B. Eksistensi
Syar’u Man Qablana
Seperti
diketahui bahwa setiap Nabi memiliki syari’at sendiri yang berlaku dan mengikat
umatnya. Syari’at Nabi yang datang kemudian menghapuskan nasakh syari’at Nabi
terdahulu, baik sebagian atau keseluruhannya.oleh karena itu, dilihat dari segi
eksistensinya bagi kita, Syar’u Man Qoblana dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu:
a) Hukum-hukum
yang tidak dinyatakan sebagai syri’at bagi kita, baik oleh al-Qur’an maupun
hadist. Hukum-hukum seperti ini tidak menjadi syari’at kita menurut kesepakatan
para ulama.
b) Syari’at
yang di perintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian dinyatakan berlaku
bag umat Muhammad. Hukum-hukum seperti ini mengikat umat Islam menurut
kesepakatan para ulama. Seperti ibadah kurban yang merupakan salah satu sunnah
nabi Ibrahim yang kemudian dinyatakan berlaku dan disunnahkan kepada umat
Islam.
c) Syari’at
yang diperintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian al-Qur’an dan Hadist
menerangkannya kepada kita, tetapi tidak secara tegas menetapkannya sebagai syari’at kita dan juga tidak terdapat
ayat yang secara tegas menasakhkannya. Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat. Mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Syafi’iyah dan
Imam Ahmad dalam satu riwayat menyatakan kita wajib mengikutinya selama tidak
terdapat pengingkaran atau penolakan dari syari’at kita. Menurut madzhab
Asy’ariyah Muktazilah dan Syi’ah dan menurut qaul yang rajih dari madzhab
Syafi’i serta imam Ahmad dalam riwayat yang lain bahwa hukum-hukum seperti ini
tidak menjadi syari’at bagi kita. Pedapat ini juga dipilih oleh Imam Ghazali, al-Amidi,
al-Razi, Ibnu Hazm, dan ulama yang lain. Sedang menurut Imam Ibnu Qusyairy dan
Ibnu burhan dalam hal seperi ini statusnya kita pending samoai ada dalil yang
shahih menjelaskannya.[4]
C.
Pendapat Uama Tentang Syar’u Man Qoblana
Sebelum lebih jauh mengemukakan perbedaan pendapat para ulama
tentang persoalan di atas, lebih dahulu ditegaskan, bahwa semua ulama sepakat,
Syar’u Man Qoblana yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah, tidak
berlaku bagi Nabi Muhammad SAW dan umat beliau. Sebab Syari’at Nabi Muhammad
bersifat menggantikan Syari’at terdahulu. Dangan demikian, dengan datangnya
syari’at Nabi Muhammad, maka semua Syari’at para nabi terdahulu yang tidak
tecantum dalan Nash al-Qur’an dan sunnah, dengan sendirinya menjadi tidak
berlaku lagi. Misalnya, haramnya memakan semua daging binatang yang berkuku
genap, tindakan bunuh diri sebagai cara taubat, dan memotong bagian yang
terkena najis.[5]
Jumhur
ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa
hukum tersebut disyari’atkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan
menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak
terdapat hukum yang me-nasakh-nya. Alasannya, mereka menganggap bahwa
hal itu termasuk di antara hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui
para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita.[6]
Ada hal-hal yang yang disepakati.
1.
Mengenai
hukum-hukum agama sebelum Islam, yang ternyata telah dihapus oleh Islam, ulama
telah sepakat tentang tidak bolehnya
beramal dengannya. Sebagai contoh, dalam ajaran Nabi Musa bila kain terkena
najis maka kainnya dipotong.
2.
Mengenai
hukum-hukum agama sebelum Islam, yang mana syari’at Islam (al-Qur’an dan
Hadist) telah menetapkan berlakunya hukum tersebut, para ulama sepakat tentang
wajibnya setiap Muslim mengamalkannya. Sebagai contoh, cara tawaf yang di
modifikasi atau khitan dengan cara modern.
Ada pula hal-hal yang diperselisihkan.
Yaitu nash al-Qur’an/ teks ayat ataupun matan hadits yang
meriwayatkan tentang peraturan/hukum agama-agama sebelum Islam, sedang
nash/teks atau matan hadist secara tegas melarang kita mengikutinya.
Sebagai contoh misalnya firman Allah yang berbunyi pada ayat
Al-Maaidah: 45
$oYö;tFx.ur
öNÍkön=tã
!$pkÏù
¨br&
}§øÿ¨Z9$#
ħøÿ¨Z9$$Î/
ú÷üyèø9$#ur
Èû÷üyèø9$$Î/
y#RF{$#ur
É#RF{$$Î/
cèW{$#ur
ÈbèW{$$Î/
£`Åb¡9$#ur
Çd`Åb¡9$$Î/
yyrãàfø9$#ur
ÒÉ$|ÁÏ%
4
Artinya: Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya,[7]
Sehubungan dengan
ayat tersebut di atas, perbedaaan pendapat para ulama terbagi pada dua
golongan, pertama, berpendapat bahwa yang demikian wajib diikuti dan di
amalkan, karena dengan diceritakannya pada kita berarti merupakan syari’at bagi
kita, yang dibawa oleh Rasul juga. Yang berpendapat demikian adalah golongan
Hanafiyah, sebagian Malikiyah, dan Syafi’iyah.
Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa, peraturan atau
hukum agama-agama sebelum Islam tidak boleh kita amalkan, karena kedatangan
agama Islam adalah menghapus sekalian hukum-hukum agama yang terdahulu. Yang
boleh diamalkan bagi golongan ini adalah hukum agama terdahulu yang dibenarkan
atau diperintah oleh Islam.[8]
Meskipun
mereka sepakat bahwa syari’at Nabi terdahulu dihapuskan oleh syari’at Nabi yang
dating kemudian, namun mereka berbeda pendapat tentang apakah sebelum diutus
menjadi Nabi Muhammad melakukan ibadah sesuai dengan syari’at Nabi terdahulu
ataukah tidak.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti yang telah kita bahas
diatas, bahwa Syar’u Man Qoblana ialah syari’at hukum dan ajaran-ajaran
yang berlaku pada para Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul; seperti syari’at
Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain. Sebagaimana di
yakini, syari’at Nabi Muhammad merupakan syari’at terakhir yang diturunkan
Allah kepada manusia.dalam pada itu, baik al-Qur’an maupun hadist Nabi dan
Rasul Allah yang terdahulu, serta hukum-hukum syara’ yang berlaku bagi mereka
dan umatnya. Berkaitan dengan syari’at para Nabi tersebut.
Syar’u Man Qoblana dapat dikelompokkan
menjadi tiga yaitu:
a) Hukum-hukum
yang tidak dinyatakan sebagai syri’at bagi kita, baik oleh al-Qur’an maupun
hadist. Hukum-hukum seperti ini tidak menjadi syari’at kita menurut kesepakatan
para ulama.
b) Syari’at
yang di perintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian dinyatakan berlaku
bag umat Muhammad. Hukum-hukum seperti ini mengikat umat Islam menurut
kesepakatan para ulama. Seperti ibadah kurban yang merupakan salah satu sunnah
nabi Ibrahim yang kemudian dinyatakan berlaku dan disunnahkan kepada umat
Islam.
c)
Syari’at yang diperintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian
al-Qur’an dan Hadist menerangkannya kepada kita, tetapi tidak secara tegas
menetapkannya sebagai syari’at kita dan
juga tidak terdapat ayat yang secara tegas menasakhkannya. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian
Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat menyatakan kita wajib mengikutinya
selama tidak terdapat pengingkaran atau penolakan dari syari’at kita. Menurut
madzhab Asy’ariyah Muktazilah dan Syi’ah dan menurut qaul yang rajih dari
madzhab Syafi’i serta imam Ahmad dalam riwayat yang lain bahwa hukum-hukum
seperti ini tidak menjadi syari’at bagi kita. Pedapat ini juga dipilih oleh
Imam Ghazali, al-Amidi, al-Razi, Ibnu Hazm, dan ulama yang lain. Sedang menurut
Imam Ibnu Qusyairy dan Ibnu burhan dalam hal seperi ini statusnya kita pending
samoai ada dalil yang shahih menjelaskannya.
Syar’u Man Qoblana yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun
sunnah, tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW dan umat beliau. Sebab Syari’at
Nabi Muhammad bersifat menggantikan Syari’at terdahulu. Dangan demikian, dengan
datangnya syari’at Nabi Muhammad, maka semua Syari’at para nabi terdahulu yang
tidak tecantum dalan Nash al-Qur’an dan sunnah, dengan sendirinya menjadi tidak
berlaku lagi. Misalnya, haramnya memakan semua daging binatang yang berkuku
genap, tindakan bunuh diri sebagai cara taubat, dan memotong bagian yang
terkena najis.
B. Kritik
& Saran
Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami miliki,
maka kami mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis
lebih-lebih terhadap Bapak Maimun, S.H.I. M.Pd.I selaku pemegang atau yang
diberikan tugas makalah ini atas partisipasinya. Itu semua demi untuk mengembangkan
kemampuan yang ada pada diri kami yang selama ini terpendam. Dan menjadi bahan
acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari atau esok hari.
DAFTAR RUJUKAN
[1] Suwarjin, Ushul
Fiqh, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2012), hlm. 158
[2] Abbadi
Ishmuddin, Pengantar Teori Hukum Islam, (Pamekasan: STAIN Pamekasan
Press), hlm. 88
[3] Departemen
Agama (Terjemahan al-Qur’an)
[4] Ibid. 163
[5] Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah), hlm. 230
[6] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 145
[7] Departeman
Agama (Terjemahan al-Qur’an)
[8] Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqh Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group), hlm. 172