Friday, September 21, 2018

SYAR’U MAN QOBLANA MAKALAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada pembahasan kali ini, yang berjudul Syar’uman Qoblana dibahas karena ini adalah sebuah cabang ilmu ushul yang penting untuk di perdalam. Agar pemahaman dalam tema ini tidak melenceng dari konteks yang ada dan jauh dari kesalah pahaman dalam memahaminya. Maka dari itu perlu kiranya bagi kami untuk membahas lebih alam tentang syar’u Man Qoblana.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Syar’u Man Qoblana?
2.      Bagaimana eksistensi Syar’u Man Qoblana?
3.      Bagaimana pendapat para ulama’ tentang Syar’u Man Qoblana?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan definisi Syar’u Man Qoblana.
2.      Menjelaskan pendapat para ulama’ tentang Syar’u Man Qoblana.
3.      Menjelaskan bagaimana eksistensi Syar’u Man Qoblana.
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Syar’u Man Qoblana
Yang dimaksud Syar’uman qoblana ialah syariat yang dibawa para Rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul. Seperti yang kita  ketahui Allah menurunkan ajaran tauhid yang sama antara Rasul satu dengan yang lain. Namun, dalam hal syariat Allah menurunkan syariat yang berbeda-beda pada setiap ummat.[1]
Syar’uman Qoblana adalah hukum-hukum syari’at yang di tetapkan oleh Allah buat umat-umat terdahulu, dan dibawa oleh nabi-nabi mereka, dimana umat yang hidup sebelum disyari’atkan Islam diwajibkan untuk melaksanakan hukum-hukum itu. Seperti Syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa alaihissalam. Dan ta’rif ini, maka akidah-akidah dasar yang sama antara akidah mereka dengan akidah Islam tidak termasuk dalam istilah ini, hari akhir, takdir baik dan buruk serta yang lain sebagainya, sebagaimana apa yang berlaku bagi mereka karena ada perintah untuk diberlakukan. [2]
 Seperti dalam surat al-Maidah ayat: 48
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ     
Artinya: Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.[3]
B.     Eksistensi Syar’u Man Qablana
            Seperti diketahui bahwa setiap Nabi memiliki syari’at sendiri yang berlaku dan mengikat umatnya. Syari’at Nabi yang datang kemudian menghapuskan nasakh syari’at Nabi terdahulu, baik sebagian atau keseluruhannya.oleh karena itu, dilihat dari segi eksistensinya bagi kita, Syar’u Man Qoblana dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a)      Hukum-hukum yang tidak dinyatakan sebagai syri’at bagi kita, baik oleh al-Qur’an maupun hadist. Hukum-hukum seperti ini tidak menjadi syari’at kita menurut kesepakatan para ulama.
b)      Syari’at yang di perintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian dinyatakan berlaku bag umat Muhammad. Hukum-hukum seperti ini mengikat umat Islam menurut kesepakatan para ulama. Seperti ibadah kurban yang merupakan salah satu sunnah nabi Ibrahim yang kemudian dinyatakan berlaku dan disunnahkan kepada umat Islam.
c)      Syari’at yang diperintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian al-Qur’an dan Hadist menerangkannya kepada kita, tetapi tidak secara tegas menetapkannya  sebagai syari’at kita dan juga tidak terdapat ayat yang secara tegas menasakhkannya. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat menyatakan kita wajib mengikutinya selama tidak terdapat pengingkaran atau penolakan dari syari’at kita. Menurut madzhab Asy’ariyah Muktazilah dan Syi’ah dan menurut qaul yang rajih dari madzhab Syafi’i serta imam Ahmad dalam riwayat yang lain bahwa hukum-hukum seperti ini tidak menjadi syari’at bagi kita. Pedapat ini juga dipilih oleh Imam Ghazali, al-Amidi, al-Razi, Ibnu Hazm, dan ulama yang lain. Sedang menurut Imam Ibnu Qusyairy dan Ibnu burhan dalam hal seperi ini statusnya kita pending samoai ada dalil yang shahih menjelaskannya.[4]
C.    Pendapat Uama Tentang Syar’u Man Qoblana
Sebelum lebih jauh mengemukakan perbedaan pendapat para ulama tentang persoalan di atas, lebih dahulu ditegaskan, bahwa semua ulama sepakat, Syar’u Man Qoblana yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah, tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW dan umat beliau. Sebab Syari’at Nabi Muhammad bersifat menggantikan Syari’at terdahulu. Dangan demikian, dengan datangnya syari’at Nabi Muhammad, maka semua Syari’at para nabi terdahulu yang tidak tecantum dalan Nash al-Qur’an dan sunnah, dengan sendirinya menjadi tidak berlaku lagi. Misalnya, haramnya memakan semua daging binatang yang berkuku genap, tindakan bunuh diri sebagai cara taubat, dan memotong bagian yang terkena najis.[5]
                        Jumhur ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyari’atkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang me-nasakh-nya. Alasannya, mereka menganggap bahwa hal itu termasuk di antara hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita.[6]
Ada hal-hal yang yang disepakati.
1.      Mengenai hukum-hukum agama sebelum Islam, yang ternyata telah dihapus oleh Islam, ulama telah sepakat tentang  tidak bolehnya beramal dengannya. Sebagai contoh, dalam ajaran Nabi Musa bila kain terkena najis maka kainnya dipotong.
2.      Mengenai hukum-hukum agama sebelum Islam, yang mana syari’at Islam (al-Qur’an dan Hadist) telah menetapkan berlakunya hukum tersebut, para ulama sepakat tentang wajibnya setiap Muslim mengamalkannya. Sebagai contoh, cara tawaf yang di modifikasi atau khitan dengan cara modern.
Ada pula hal-hal yang diperselisihkan.
Yaitu nash al-Qur’an/ teks ayat ataupun matan hadits yang meriwayatkan tentang peraturan/hukum agama-agama sebelum Islam, sedang nash/teks atau matan hadist secara tegas melarang kita mengikutinya.
Sebagai contoh misalnya firman Allah yang berbunyi pada ayat Al-Maaidah: 45
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4
Artinya: Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya,[7]
            Sehubungan dengan ayat tersebut di atas, perbedaaan pendapat para ulama terbagi pada dua golongan, pertama, berpendapat bahwa yang demikian wajib diikuti dan di amalkan, karena dengan diceritakannya pada kita berarti merupakan syari’at bagi kita, yang dibawa oleh Rasul juga. Yang berpendapat demikian adalah golongan Hanafiyah, sebagian Malikiyah, dan Syafi’iyah.
Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa, peraturan atau hukum agama-agama sebelum Islam tidak boleh kita amalkan, karena kedatangan agama Islam adalah menghapus sekalian hukum-hukum agama yang terdahulu. Yang boleh diamalkan bagi golongan ini adalah hukum agama terdahulu yang dibenarkan atau diperintah oleh Islam.[8]
            Meskipun mereka sepakat bahwa syari’at Nabi terdahulu dihapuskan oleh syari’at Nabi yang dating kemudian, namun mereka berbeda pendapat tentang apakah sebelum diutus menjadi Nabi Muhammad melakukan ibadah sesuai dengan syari’at Nabi terdahulu ataukah tidak.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Seperti yang telah kita bahas diatas, bahwa Syar’u Man Qoblana ialah syari’at hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul; seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain. Sebagaimana di yakini, syari’at Nabi Muhammad merupakan syari’at terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia.dalam pada itu, baik al-Qur’an maupun hadist Nabi dan Rasul Allah yang terdahulu, serta hukum-hukum syara’ yang berlaku bagi mereka dan umatnya. Berkaitan dengan syari’at para Nabi tersebut.
Syar’u Man Qoblana dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
a)      Hukum-hukum yang tidak dinyatakan sebagai syri’at bagi kita, baik oleh al-Qur’an maupun hadist. Hukum-hukum seperti ini tidak menjadi syari’at kita menurut kesepakatan para ulama.
b)      Syari’at yang di perintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian dinyatakan berlaku bag umat Muhammad. Hukum-hukum seperti ini mengikat umat Islam menurut kesepakatan para ulama. Seperti ibadah kurban yang merupakan salah satu sunnah nabi Ibrahim yang kemudian dinyatakan berlaku dan disunnahkan kepada umat Islam.
c)      Syari’at yang diperintahkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian al-Qur’an dan Hadist menerangkannya kepada kita, tetapi tidak secara tegas menetapkannya  sebagai syari’at kita dan juga tidak terdapat ayat yang secara tegas menasakhkannya. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat menyatakan kita wajib mengikutinya selama tidak terdapat pengingkaran atau penolakan dari syari’at kita. Menurut madzhab Asy’ariyah Muktazilah dan Syi’ah dan menurut qaul yang rajih dari madzhab Syafi’i serta imam Ahmad dalam riwayat yang lain bahwa hukum-hukum seperti ini tidak menjadi syari’at bagi kita. Pedapat ini juga dipilih oleh Imam Ghazali, al-Amidi, al-Razi, Ibnu Hazm, dan ulama yang lain. Sedang menurut Imam Ibnu Qusyairy dan Ibnu burhan dalam hal seperi ini statusnya kita pending samoai ada dalil yang shahih menjelaskannya.
Syar’u Man Qoblana yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah, tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW dan umat beliau. Sebab Syari’at Nabi Muhammad bersifat menggantikan Syari’at terdahulu. Dangan demikian, dengan datangnya syari’at Nabi Muhammad, maka semua Syari’at para nabi terdahulu yang tidak tecantum dalan Nash al-Qur’an dan sunnah, dengan sendirinya menjadi tidak berlaku lagi. Misalnya, haramnya memakan semua daging binatang yang berkuku genap, tindakan bunuh diri sebagai cara taubat, dan memotong bagian yang terkena najis.
B.     Kritik & Saran
Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami miliki, maka kami mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis lebih-lebih terhadap Bapak Maimun, S.H.I. M.Pd.I selaku pemegang atau yang diberikan tugas makalah ini atas partisipasinya. Itu semua demi untuk mengembangkan kemampuan yang ada pada diri kami yang selama ini terpendam. Dan menjadi bahan acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari atau esok hari.














DAFTAR RUJUKAN



[1] Suwarjin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2012), hlm. 158 
[2] Abbadi Ishmuddin, Pengantar Teori Hukum Islam, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press), hlm. 88
[3] Departemen Agama (Terjemahan al-Qur’an)
[4] Ibid. 163
[5] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah), hlm. 230  
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia), hlm.  145
[7] Departeman Agama (Terjemahan al-Qur’an)
[8] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana PrenadaMedia Group), hlm. 172