BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an
adalah mukjizat islam yang abadi dimana semakin maju pengetahuan, semakin
tampak validitas kemukjizatannya. Allah Swt menurunkannya kepada Nabi Muhammad
SAW. Demi membebaskan manusia dari kegelapan hidup menuju cahaya Illahi, dan
membimbing mereka ke jalan yang lururs. Rasulullah menyampakannya kepada para
sahabatnya sebagai penduduk asli arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat
mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat
yang mereka terima, mereka langsung menanyakan kepada Rasulullah. Diantara
kemurahan Allah terhadap manusia ialah Dia tidak saja menganugerahkan fitrah
yang suci yang dapat membimbingkan kepada kebaikan bahkan juga dari masa ke maa
mengutus seorang Rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah,
mengajak manusia agar beribadah kepada-Nya semata. Menyampaikan kabar gembira
dan memberika peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah
Allah setelah datangnya para Rasul.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu dalam al-Qur’an?
2. Bagaimana hakikat ilmu dalam al-Qur’an?
3. Bagiamana kaitannya tafsir al-Qur’an surah al-Mujadalah
: 11, Thaha: 114, an Naml : 15, al-Qashah : 14 ?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian tentang ilmu..
2. Menjelaskan hakikat
ilmu dalam al Qur’an.
3. Menjelaskan kaitannya
tentang hakikat ilmu dari tafsir beberapa surah dalam al Qur’an (surah al-Mujadalah
: 11, Thaha: 114, an-Naml : 15, al-Qashah : 14).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertia
ilmu dalam al-Qur’an
Kata ilmu secara bahasa berarti kejelasan. Oleh
karena itu, segala bentuk yang berasal dari akar kata tersebut selalu menunjuk
kepada kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuk dan derifasinya terulang 854
kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan
dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi
bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya
mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat
(bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu
adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini
berbeda dengan ‘arafa (mengetahui)’ a’rif (yang mengetahui), dan ma’rifah
(pengetahuan). Allah SWT. Tidak dinamakan a’rif’ tetapi ‘alim, yang berkata
kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Qur’an menggunakan kata itu
untuk Allah dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau
dirahasiakan. Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan
kepada Allah: ya’lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang mereka
rahasiakan), ya’lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang berada di
dalam rahim), ma tahmil kullu untsa (apa yang dikandung oleh setiap
betina/perempuan), mafianfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma
fil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khainat al-’ayun wa ma tukhfiy
ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga ‘ilm
yang disandarkan kepada manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.
Dalam pandangan al-Qur’an bahwasanya seseorang yang
mempunyai ilmu akan diangkat derajatnya sesuai dengan firman Allah:
zN¯=tæur
tPy#uä
uä!$oÿôF{$#
$yg¯=ä.
§NèO
öNåkyÎztä
n?tã
Ïps3Í´¯»n=yJø9$#
tA$s)sù
ÎTqä«Î6/Rr&
Ïä!$yJór'Î/
ÏäIwàs¯»yd
bÎ)
öNçFZä.
tûüÏ%Ï»|¹
ÇÌÊÈ (#qä9$s%
y7oY»ysö6ß
w
zNù=Ïæ
!$uZs9
wÎ)
$tB
!$oYtFôJ¯=tã
(
y7¨RÎ)
|MRr&
ãLìÎ=yèø9$#
ÞOÅ3ptø:$#
ÇÌËÈ
31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!"
32. Mereka menjawab:
"Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana[35]."
[35] Sebenarnya terjemahan hakim dengan Maha Bijaksana kurang
tepat, karena arti hakim Ialah: yang mempunyai hikmah. Hikmah ialah penciptaan
dan penggunaan sesuatu sesuai dengan sifat, guna dan faedahnya. di sini
diartikan dengan Maha Bijaksana karena dianggap arti tersebut hampir mendekati
arti Hakim.
Berbicara tentang ilmu pengetahuan dalam hubungannya
dengan al-Qur’an, ada persepsi bahwa al-Qur’an itu adalah kitab ilmu
pengetahuan. Persepsi ini muncul atas dasar isyarat-isyarat al-Qur’an yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan dari isyarat tersebut sebagian para ahli
beurpaya membuktikannya dan ternyata mendapatkan hasil yang sesuai dengan
isyaratnya, sehingga semakin memperkuat persepsi tersebut.
Jika berangkat dari asumsi dasar bahwa al-Qur’an itu
adalah wahyu, sementara wahyu sangat erat hubungannya dengan masalah jiwa dan
perilaku manusia yang dominan bersifat psikis/psikologis. Dalam hal ini maka
hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan tidaklah hanya sekedar diukur dengan
banyaknya ditemukan ilmu pengetahuan yang berasal dari penyimpulan ayat, bukan
pula dengan menunjukkan kebenaran teori ilmiah terhadap isyarat ayat. Akan
tetapi pembahsan tersebut hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat
sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an.
Hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, harus
diletakkan proporsi bahwa dari isyarat ayat-ayat al-Qur’an, tidak ada ayat yang
menghalangi tuntutan serta merintangi kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi justru
sebaliknya. Sebagai contoh firman Allah:
ö@è%
¨bÎ)
În1u
äÝÝ¡ö6t
s-øÎh9$#
`yJÏ9
âä!$t±o
âÏø)tur
£`Å3»s9ur
usYò2r&
Ĩ$¨Z9$#
w
tbqßJn=ôèt
ÇÌÏÈ
36. Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku
melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa
yang dikehendaki-Nya). akan tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".
Dalam ayat tersebut al-Qur’an menganjurkan agar
manusia menggunakan akal fikirannya untuk mencapai hasil yang dicita-citakan.
Inilah iklim baru yang dibentuk oleh al-Qur’an dalam langkah mengembangkan akal
fikiran manusia serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.
Orgennya ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia, baik individu maupun sosial,
al-Qur’an memberikan pertanyaan yang merupakan ujian bagi manusia. Firman Allah:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih
beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran.
Ayat-ayat inilah yang membentuk iklim baru dalam
masyarakat muslim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Pembentukan
iklim ilmiah jauh lebih penting dari teori ilmiah itu sendiri, karena tanpa
terwujudnya iklim ilmiah, maka teori ilmiah tidak akan terwujud dan terbumikan.
Sejarah telah mencatat tokoh ilmiah yang harus mengorbankan nyawanya disamping
fikirannya hanya untuk membumikan teori ilmiah yang ia temukan.
Al-Qur’an adalah wahyu dan petunjuk bagi umat manusia
untuk menemukan kesentosaan hidup, baik secara fisik maupun psikis, baik di
alam real maupun dialam ghaib nanti memberikan dorongan kepada manusia agar
menggunakan akal fikirannya.
B. Hakikat ilmu dalam al-Qur’an
Hakikat Ilmu Dalam al-Qur’an Dalam proposal
komprehensif ilmu pengetahuan, di samping al-Qur’an menekankan penelaahan
terhadap fenomena-fenomena alam dan insani dengan menggunakan indera dan
empiris, juga mengutuhkan penelaahan ini dengan perenungan dan penalaran
rasional yang, pada akhirnya, semua itu jatuh dalam rangkulan agama. Dengan
memperhatikan kedalaman dimensi ketuhanan dari fenomena alam dalam kaitannya
dengan kekuatan pencipta, al-Qur’an menempatkan ilmu yang diperoleh dari indera,
empiris, akal, iman dan takwa sebagai fasilitas manusia dalam rangka
penyempurnaan dan pengembangan diri. Definisi yang dipilih oleh Murtadha
Muthahari untuk esensi ilmu dalam pandangan al-Qur’an adalah mengenal ayat
yang, atas dasar itu, seluruh alam merupakan ayat dan tanda kebesaran Allah SWT.
Allamah Ja’fari mengenalkannya dengan nama “pengetahuan pengingat”. Dengan demikian,
ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an telah membuka jalan menyingkap ayat dan
kesan-kesan Ilahi dengan mengajak manusia untuk menelaah sejarah, alam, dan
dirinya sendiri. Dengan begitu, maka di samping meningkatnya level ilmu dalam
mengenal berbagai hubungan dan relasi antar fenomena di alam ini, al-Qur’an
akan menguak lapisan-lapisan terdalam pengetahuannya melalui pengenalan akan hubungan
berbagai fenomena dan tanda-tanda dengan makna fundamental keberadaan dan
mengarahkan manusia ke jalan kebahagiaan dan keselamatan. Allamah Thabathabai
mendefinisikan esensi ilmu dalam sastra bahasa al-Qur’an demikian, “Pada
prinsipnya, ilmu dalam bahasa al-Qur’an adalah keyakinan pada Allah SWT. Dan
ayat-ayat-Nya”. Pada tempat lain, ia beliau menulis, “Al-Qur’an menyerukan
ilmu-ilmu ini dengan syarat menjadi penuntun kepada kebenaran dan hakikat,
mengandung pandangan dunia hakiki yang menempatkan ketuhanan berada di atasnya.
Jika tidak demikian, maka ilmu yang digagas untuk menggairahkan manusia dan
mencegahnya dari kebenaran dan hakikat, dalam kamus al-Qur’an, adalah sinonim
dengan kebodohan. Demikian pula al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din dan al-Kasyani
dalam Mahajjat al-Baydha’ mengenalkan ilmu dengan definisi demikian, “Ilmu juga
digunakan pada Allah SWT. Ayat-ayat-Nya, dan perbuatan-Nya terhadap hamba-Nya
dan makhluk-Nya.” Para peneliti berusaha keras mendeskripsikan teori ilmu dalam
al-Qur’an, akan tetapi perlu dicatat bahwa dalam al-Qur’an, kata ilmu tidak
dipergunakan dalam bentuk jamak, karena ilmu tidak lebih dari satu, yaitu
pengenalan akan Allah SWT. Efek-Nya dan tanda-tanda-Nya yang tak terhingga dan
tampak bertebaran di alam eksternal dan alam internal manusia, dan alat
pengantarnya adalah mengenal ayat yang mengelola segenap fasilitas pengetahuan
manusia dalam rangka memenuhi dan mencapai tujuan penciptaan dan mengawal maju
manusia secara teoretis dan praktis. “Al-Qur’an mengenalkan ilmu dan yakin
sebagai tujuan penciptaan, sedangkan ibadah sendiri diungkapkan sebagai tujuan
menengah, karena dalam surah al-Dzariat, Allah SWT. berfirman, “Tidak Aku
ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah”, dan dalam surah Al-Hijr
berfirman, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin datang kepadamu.” Karena itu,
walaupun ibadah merupakan tujuan, akan tetapi tujuan terutama adalah yakin,
yakni pengetahuan yang terjaga dari kesalahan dan perubahan.
C. Kaitannya Tafsir al-Quran surah al Mujadalah : 11, Thaha: 114,
an Naml : 15, al Qashah : 14S
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Tafsir Yang Berhubungan Dengan Hakikat Ilmu
Dalam al-Qur’an 1. Tafsir ayat ke 11 surah al-Mujadalah. Artinya : “Hai
orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam
majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan”. Penjelasan Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman kepada
Allah dan membenarkan Rasul-Nya, apabila dikatakan kepadamu, berikanlah
kelapangan di dalam majlis Rasulullah SAW. Atau di dalam majlis peperangan,
berikanlah olehmu kelapangan niscaya Allah akan melapangkan rahmat dan rezeki-Nya
bagimu di tempat-tempatmu di dalam surga”. Para sahabat berlomba berdekatan
dengan tempat duduk Rasulullah SAW Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abu Hatim dari
muqatil, dia berkata: Adalah Rasulullah SWT. Pada hari jum’at ada shuffah,
sedang tempat itu pun sempit. Beliau menghormati orang-orang yang ikut perang
Badar, baik mereka itu Muhajirin maupun Anshar. Maka datanglah beberapa orang
diantara mereka itu, diantaranya Tsabit Ibnu Qais. Mereka telah didahului orang
dalam hal tempat duduk. Lalu mereka pun berdiri dihadapan Rasulullah SAW. Kemudian
mereka mengucapkan “Assalamualaikum wahai Nabi Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh ”
Beliau menjawab salam mereka. Kemudian mereka menyalami orang-orang dan
orang-orang pun menjawab salam mereka. Mereka berdiri menunggu untuk diberi kelapangan
bagi mereka, tetapi mereka tidak diberi kelapangan. Hal itu terasa berat oleh
Rasulullah SAW. Lalu Beliau mengatakan kepada orang-orang yang ada di sekitar
beliau, “berdirilah engkau wahai Fulan, berdirilah engkau wahai Fulan. Beliau
menyuruh beberapa orang untuk berdiri sesuai dengan jumlah mereka yang datang.
Hal itu pun tampak berat oleh mereka, dan ketidakenakan Beliau tampak oleh
mereka. Orang-orang munafik mengecam yang demikian itu dan mengatakan, “ Demi
Allah, dia tidaklah adil kepada mereka. Orang-orang itu telah mengambil tempat
duduk mereka dan ingin berdekatan dengannya. Tetapi dia menyuruh mereka berdiri
dan menyuruh duduk orang-orang yang datang terlambat.” Maka turunlah ayat itu.
Berkata Al-Hasan, adalah para sahabat berdesak-desak dalam majlis peperangan
apabila mereka berbaris untuk berbaris untuk berperang, sehingga sebagian
mereka tidak memberikan kelapangan kepada sebagian yang lain karena
keinginannya untuk mati syahid. Dan dari ayat ini kita mengetahui: 1. Para
sahabat berlomba-lomba untuk berdekatan dengan tempat duduk Rasulullah SAW. Untuk
mendengarkan pembicaraan beliau, karena pembicaraan beliau mengandung banyak
kebaikan dan keutamaan yang besar. Oleh karena itu maka beliau mengatakan, “hendaklah
duduk berdekatan denganku orang-orang yang dewasa dan berakal diantara kamu.”
2. Perintah untuk memberi kelonggaran dalam majlis dan tidak merapatkannya
apabila hal itu mungkin, sebab yang demikian ini akan menimbulkan rasa cinta di
dalam hati dan kebersamaan dalam mendengar hukum-hukum agama. 3. Orang yang
melapangkan kepada hamba-hamba Allah pintu-pintu kebaikan dan kesenangan, akan
dilapangkan baginya kebaikan-kebaikan di dunia dan di akhirat. Ringkasnya, ayat
ini mencakup pemberian kelapangan dalam menyampaikan segala macam kepada kaum
muslimin dan dalam menyenangkannya. Apabila kamu diminta untuk berdiri dari
majlis Rasulullah SAW. Maka berdirilah kamu, sebab Rasulullah SAW. Itu
terkadang ingin sendirian guna merencanakan urusan-urusan agama atau menunaikan
beberapa tugas khusus yang tidak dapat ditunaikan atau disempurnakan
penunaiannya kecuali dalam keadaan sendiri. Apabila kamu diminta untuk berdiri
dari majlis Rasulullah SAW. Maka berdirilah kamu, mereka telah menjadikan hukum
ini umum sehingga mereka mengatakan apabila pemilik majlis mengatakan kepada
siapa yang ada di majlisnya, “berdirilah kamu” maka sebaiknya kata-kata itu
diikuti. Allah meninggikan orang-orang mukmin dengan mengikuti
perintah-perintah-Nya dan perintah Rasul, khususnya orang yang berilmu diantara
mereka derajat-derajat yang banyak dalam hal pahala dan tingkat-tingkat
keridhaan. Ringkasnya, sesungguhnya wahai orang mukmin apabila salah seorang
diantara kamu memberikan kelapangan bagi saudaranya ketika saudaranya itu
datang atau jika ia disuruh keluar lalu ia keluar, maka hendaklah ia tidak
menyangka sama sekali bahwa hal itu mengurangi haknya. Bahwa yang demikian
merupakan peningkatan dan penambahan bagi kedekatannya di sisi Tuhannya. Allah
Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan yang demikian itu tetapi dia akan membalasnya
di dunia dan di akhirat. Sebab barang siapa yang tawadu’ kepada perintah Allah
maka Allah akan mengangkat derajat dan menyiarkan namanya. Allah mengetahui
segala perbuatanmu. Tidak ada yang samar bagi-Nya, siapa yang taat dan siapa
yang durhaka diantara kamu. Dia akan membalas kamu semua dengan amal
perbuatanmu. Orang yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan dan orang yang
berbuat buruk akan dibalas-Nya dengan apa yang pantas baginya atau diampuninya.
n?»yètGsù ª!$# à7Î=yJø9$# ,ysø9$# 3 wur ö@yf÷ès? Èb#uäöà)ø9$$Î/ `ÏB È@ö6s% br& #Ó|Óø)ã øs9Î) ¼çmãômur ( @è%ur Éb>§ ÎT÷Î $VJù=Ïã ÇÊÊÍÈ
114. Maka Maha Tinggi Allah raja yang
sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur'an sebelum
disempurnakan mewahyukannya kepadamu[946], dan Katakanlah: "Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
[946] Maksudnya: Nabi Muhammad SAW. Dilarang oleh
Allah menirukan bacaan Jibril As. Kalimat demi kalimat, sebelum Jibril As. Selesai
membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad SAW. Menghafal dan memahami betul-betul
ayat yang diturunkan itu.
2. Tafsir ayat ke 114 surat Thaha. Artinya
: “Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu
tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu [946],
dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
(Q.S Thaha: 114) Maksudnya: Nabi Muhammad SAW. Dilarang oleh Allah menirukan
bacaan Jibril As. Kalimat demi kalimat, sebelum Jibril As. selesai
membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad SAW. Menghafal dan memahami betul-betul
ayat yang diturunkan itu. Maha suci Allah yang Kuasa untuk memerintah dan
melarang. Yang berhak untuk diharapkan janji-Nya dan ditakuti ancaman-Nya,
yaitu yang tetap dan tidak berubah dari penurunan al-Qur’an kepada mereka tidak
mengenai tujuan yang untuk itu ia diturunkan, yaitu mereka meninggalkan
perbuatan maksiat dan melakukan segala ketaatan. Tidak diragukan lagi, ayat ini
mengandung perintah untuk mengkaji al-Qur’an dan penjelasan bahwa segala
anjuran dan larangan-Nya adalah siasat Ilahiyah yang mengandung kemaslahatan
dunia dan akhirat, hanya orang yang dibiarkan oleh Allah lah yang akan
menyimpang dari pada-Nya; dan bahwa janji serta ancaman yang dikandungnya benar
seluruhnya, tidak dicampuri dengan kebatilan; bahwa orang yang haq adalah orang
yang mengikutinya dan orang yang batil adalah orang yang berpaling dari
memikirkan larangan-larangan-Nya. Janganlah kamu tergesa-gesa membacanya di
dalam hatimu sebelum jibril selesai menyampaikannya kepadamu. Diriwayatkan
apabila jibril menyampaikan al-Qur’an Nabi SAW. Mengikutinya dengan mengucapkan
setiap huruf dan kalimat, karena beliau khawatir tidak dapat menghafalnya. Maka
beliau dilarang berbuat demikian karena barangkali mengucapkan kalimat akan
membuatnya lengah untuk mendengarkan kalimat berikutnya. Mengenai hal ini Allah
Ta’ala menurunkan firman-Nya: Artinya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya) [1532].
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
[1532] Maksudnya: Nabi Muhammad SAW. Dilarang oleh Allah menirukan bacaan
Jibril As. Kalimat demi kalimat, sebelum Jibril As. Selesai membacakannya, agar
dapat Nabi Muhammad SAW. Menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan
itu. Ringkasan: dengarkanlah baik-baik dan diamlah ketikka wahyu turun dengan
membawa al-Qur’an kepadamu; hingga apabila malaikat selesai membacakannya, maka
bacalah sesudahnya. Mohonlah tambahan ilmu kepada Allah tanpa kamu tergesa-gesa
membaca wahyu karena apa yang diwahyukan kepadamu itu akan kekal.
ôs)s9ur $oY÷s?#uä y¼ãr#y z`»yJøn=ßur $VJù=Ïã ( w$s%ur ßôJptø:$# ¬! Ï%©!$# $uZn=Òsù 4n?tã 9ÏWx. ô`ÏiB ÍnÏ$t7Ïã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÎÈ
15. Dan Sesungguhnya Kami telah memberi ilmu
kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi
Allah yang melebihkan Kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman".
3.
Tafsir ayat ke 15 surah an- Naml Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah memberi
ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi
Allah yang melebihkan Kami dari kebanyakan hamba-hambanya yang beriman".
(Q.S An-Naml: 15) Penjelasan Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Daud dan
putranya, Sulaiman As. Sebagian besar ilmu. Kami ajarkan kepada Daud pembuatan
baju besi dan pakaian perang, sementara kepada Sulaiman Kami ajarkan bahasa burung
dan binatang melata, tasbih gunung, dan lain-lain yang belum pernah Kami
berikan kepada seorang pun sebelum mereka. Kemudian mereka bersyukur kepada
Allah atas karunia yang dilimpahkan kepada mereka, dan berkata, “Segala puji
bagi Allah yang telah melebihkan kami – dengan kenabian, al-Kitab, serta
penundukkan setan dan jin yang diberikan kepada kami atas kebanyakan
orang-orang mukmin diantara para hamba-Nya yang belum diberi seperti apa yang
diberikan kepada kami.” Ayat ini menunjuk kepada keutamaan ilmu dan kemuliaan
pemiliknya. Hal ini tampak, bahwa Daud dan Sulaiman mensyukurinya dan
menjadikannya asas keutamaan tanpa memandang sedikit pun kepada yang lainnya,
berupa kerajaan besar yang diberikan kepada mereka.
$£Js9ur x÷n=t/ ¼çn£ä©r& #uqtGó$#ur çm»oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur 4 Ï9ºxx.ur ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÍÈ
14. Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna
akalnya, Kami berikan ke-padanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan
Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
4. Tafsir ayat ke 14 surah al-Qashah Artinya: ‘dan
setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya Hikmah
(kenabian) dan pengetahuan. Dan Demikianlah Kami memberi Balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. (Q.S Al-Qashash: 14) penjelasan setelah tubuhnya
kuat dan akalnya sempurna, maka Kami memberinya pemahaman agama dan pengetahuan
tentang syariat. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya yang lain:
Artinya : “dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
Hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.
Sebagaimana Kami telah memberi balasan kepada Musa atas ketaatannya kepada kami
dan memberinya kebaikan atas kesabarannya terhadap perintah Kami, maka demikian
pula Kami membalas setiap hamba yang berbuat kebajikan, mentaati perintah dan
menjauhi larangan Kami. Setelah memberitahukan persiapan Musa untuk menjadi
seorang Nabi, selanjutnya Allah mengemukakan alasan dia hijrah ke madyan dan
mendapat berbagai tantangan yang besar.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata ilmu secara bahasa berarti kejelasan. Oleh
karena itu, segala bentuk yang berasal dari akar kata tersebut selalu menunjuk
kepada kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai bentuk dan derifasinya terulang 854
kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan
dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi
bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya
mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat
(bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu
adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini
berbeda dengan ‘arafa (mengetahui)’ a’rif (yang mengetahui), dan ma’rifah
(pengetahuan). Allah SWT. Tidak dinamakan a’rif’ tetapi ‘alim, yang berkata
kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Qur’an menggunakan kata itu
untuk Allah dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau
dirahasiakan.
Hakikat Ilmu Dalam al-Qur’an Dalam proposal
komprehensif ilmu pengetahuan, di samping al-Qur’an menekankan penelaahan
terhadap fenomena-fenomena alam dan insani dengan menggunakan indera dan
empiris, juga mengutuhkan penelaahan ini dengan perenungan dan penalaran
rasional yang, pada akhirnya, semua itu jatuh dalam rangkulan agama. Dengan
memperhatikan kedalaman dimensi ketuhanan dari fenomena alam dalam kaitannya
dengan kekuatan pencipta, al-Qur’an menempatkan ilmu yang diperoleh dari
indera, empiris, akal, iman dan takwa sebagai fasilitas manusia dalam rangka
penyempurnaan dan pengembangan diri. Definisi yang dipilih oleh Murtadha
Muthahari untuk esensi ilmu dalam pandangan al-Qur’an adalah mengenal ayat
yang, atas dasar itu, seluruh alam merupakan ayat dan tanda kebesaran Allah SWT.
Allamah Ja’fari mengenalkannya dengan nama “pengetahuan pengingat”. Dengan demikian,
ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an telah membuka jalan menyingkap ayat dan
kesan-kesan Ilahi dengan mengajak manusia untuk menelaah sejarah, alam, dan
dirinya sendiri.
B.
Kritik & Saran
Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami miliki,
maka kami mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis
lebih-lebih terhadap Bapak Mohammad Farah Ubaidillah, S. Th. I, M. Hum selaku
pemegang atau yang diberikan tugas makalah ini atas partisipasinya. Itu semua demi untuk mengembangkan
kemampuan yang ada pada diri kami yang selama ini terpendam. Dan menjadi bahan
acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari atau esok hari.
DAFTAR RUJUKAN
Al
Qaththan, Manna. Pengantar Studi Ilmu al Qur’an. Jakarta: Pustala al
Kautsar Rosidin, Dedeng. (2003).
Munir,
Ahmad. Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: Teras. 2007.
Pandangan
al Qur’an Tentang Ilmu dan Teknologi. [online]. Tersedia:
http://meyheriadi.blogspot.com/2011/02/pandangan-al-quran-tentang-ilmu-dan.html
[27 Februari 2012] Nasiri, Mustafa. (2012).
Esensi
Ilmu Dalam Pandangan al Qur’an. [online]. Tersedia:
http://www.taqrib.info [27 Februari 2012] Meyheriadi. (2011).
Akar-akar
Pendidikan Dalam al Qur’an dan Hadits. Bandung: Pustaka Umat
Meyheriadi. (2011).
No comments:
Post a Comment